PSSI Main Pelintir dan Bohong


KETIKA saya masih menjadi reporter Jawa Pos sekitar 25 tahun lalu, ada satu kata yang atas perintah Bos Dahlan Iskan harus dihilangkan dari perbendaharaan kami, yaitu "tidak bisa". Saya ingat, waktu itu fasilitas di Jawa Pos masih sangat minim. Di Surabaya saja pamor Jawa Pos masih kalah dari kompetitor, apalagi di luar Jatim. Ketika saya kembali ke kampus UGM, masih banyak yang terheran-heran karena saya bekerja di koran yang bernama Jawa Pos. Sering ada pertanyaan yang menjengkelkan. Misalnya, koran tempatmu bekerja itu berbahasa Jawa, tah? Kalau ada pertanyaan itu, saya jawab sekenanya: Jawa Pos berbahasa Inggris, kok.
Jelas mereka tidak akan percaya. Sebagai wartawan generasi awal, saya beruntung karena masih dididik dan diawasi langsung oleh Big Boss Dahlan Iskan. Setiap sekian pekan, kami diajak berdiskusi dalam forum yang disebut Bengkel. Forum itu sebenarnya digunakan untuk transfer teknik reporting dari bos sendiri. Saya tidak tahu apakah kegiatan seperti itu masih dilaksanakan untuk reporter generasi sekarang. Sejak masuk DPR dan sekarang menjadi duta besar (dubes), saya belum pernah mendapatkan undangan untuk berbagi dengan junior saya. Namun, apa pun proses yang kami ikuti saat itu, kata "tidak bisa" atas tugas sesulit apa pun tidak boleh hilang dari ingatan kami. Kata itu pula yang menghantui saya ketika mendapatkan tugas yang berurusan dengan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional). Terus terang, meski saya bertahun-tahun ditugaskan di luar negeri dan lama menjadi reporter, penugasan saya sebagai wartawan Jawa Pos hampir tidak pernah berurusan dengan olahraga, apalagi FIFA. Karena itu, ketika sahabat saya, Dr Andi Mallarangeng, yang sekarang menjadi Menpora, menelepon saya untuk mengklarifikasi ke FIFA mengenai kisruh PSSI, saya sempat tercenung: apa bisa? Untung, sikap bawah sadar saya yang mendarah daging sejak menjadi reporter Jawa Pos segera menggerakkan hati saya: Tidak ada kata "tidak bisa" bagi wartawan Jawa Pos. Itu juga berlaku bagi duta besar yang mengawali kariernya sebagai wartawan di Jawa Pos. Terus terang, sebelumnya saya buta soal PSSI dan FIFA. Namun, akhirnya saya mengerti dan memahaminya dengan baik. Ketika saya bongkar-bongkar, masalahnya makin menantang sekaligus menjawab sebagian pertanyaan dalam hati saya selama ini: kenapa pengurus PSSI jika wira-wiri ke Zurich (kantor pusat FIFA) tidak sekali pun mengontak KBRI? Mungkin mereka akan berurusan dengan KBRI kalau kehilangan paspor saja. Padahal, personel cabang olahraga lain, entah Percasi, PBSI, dan lain-lain, bila punya kegiatan di mana pun di wilayah Swiss akan memberi tahu KBRI. Saya makin tertantang untuk menguak misteri PSSI dan FIFA itu. Apalagi, setelah cek dan ricek terhadap sejumlah teman di media menyatakan bahwa ada pejabat PSSI yang sering bohong belaka. Saya pun bertekad melaksanakan misi dengan baik dan profesional. Apalagi, e-mail, pesan Facebook, atau SMS yang saya terima dari teman-teman di Surabaya berisi dukungan. Saya yakin, pasti ada manfaat bagi masyarakat jika persekongkolan yang mengakibatkan prestasi sepak bola Indonesia terjerembap dan makin terpuruk ke posisi yang menyedihkan dibongkar. Sebagai Dubes, saya tidak mengalami kesulitan untuk minta waktu berkunjung ke FIFA. Apalagi, sesungguhnya gelar tersebut secara resmi sangat hebat: Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia. Artinya, saya membawa kuasa penuh atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia. Jelas pihak FIFA pun mengetahui hal itu. Mereka juga tahu tentang tata krama diplomatik. Kalau mengirim surat pun, mereka tidak akan lupa menambahkan singkatan gelar HE atau his excellency (yang mulia).


Saya sebenarnya risi digelari his excellency. Tapi, ya mau bagaimana lagi, masalah itu sudah baku dalam tata pergaulan diplomatik. Yang pertama saya lakukan setelah mendapatkan kontak dengan FIFA ialah memetakan masalah. Setelah saya urai benang kusut yang ada, ternyata memang yang menjadi masalah adalah statuta PSSI. Orang di PSSI berkukuh bahwa sudah tidak ada masalah pada statuta tersebut karena sudah disahkan oleh FIFA. Namun, pihak penentang menganggap pengesahan itu penuh rekayasa. Setelah saya mempelajari secara saksama, ada kecenderungan pengurus PSSI berlindung ke FIFA jika menguntungkannya dan mengabaikan FIFA bila tidak sesuai dengan maunya. 


Pangkal kisruh pertama memang pasal 35 ayat 4 yang dalam bahasa Inggris berbunyi "The members of the executive committees must not found guilty of criminal offence". Terjemahan wajarnya "Anggota komite eksekutif tidak pernah terbukti melakukan tindakan pidana." Namun, ayat yang mudah dimengerti itu dipelintir dengan adanya tambahan "tidak sedang ditemukan melakukan kejahatan ketika kongres". Ya, tentu saja jauh panggang dari api. Jadi, menurut statuta PSSI, asal selama kongres "yang normalnya berjalan tiga hari" seorang calon tidak sedang diperiksa polisi atau jaksa karena suatu kejahatan, dia bisa menjadi calon sekalipun pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Ketika menemui para petinggi FIFA, saya agak jengkel sebab mereka sejak 2007 membiarkan terjemahan yang ngawur itu. "You don't understand Indonesian language. Why do you in FIFA accept the wrong translation like that?" protes saya kepada seorang pejabat FIFA. Dengan enteng dia menjawab, "Sorry, Indonesian language is not the official language here." 


Belakangan, yang saya tahu, direktur FIFA itu sudah digarap oleh orang-orang PSSI. Hal tersebut membuat saya makin sebal sebab jutaan orang Indonesia yang memahami bahasa Inggris dengan baik menjadi tampak bodoh saat membaca terjemahan statuta FIFA versi PSSI itu. Saya sempat meminta semua staf diplomat saya, yang umumnya memiliki nilai TOEFL di atas 600, untuk menerjemahkan statuta FIFA. Hasilnya sama dengan saya dan menyalahkan versi PSSI. Tetapi, memang orang PSSI bisa berjaya dengan pelintiran tersebut selama empat tahun karena ada orang-orang FIFA yang bisa digarap. Atas semua manipulasi itu, tekad saya untuk mengungkap borok-borok yang selama ini ada di PSSI makin kuat. Keyakinan saya terbukti juga ketika FIFA menggelar konferensi pers mengenai berbagai masalah, termasuk PSSI, 3 Maret lalu. Saya sengaja mengirim dua warga saya untuk melihat langsung dan memonitor apa yang terjadi di FIFA. Masalahnya, menurut laporan teman-teman wartawan, PSSI mengirim pengurusnya. Bahkan, pengurus tersebut kepada seorang wartawan mengaku duduk persis di depan Presiden FIFA Sepp Blatter. Segera saya kontak dua warga saya tersebut untuk memastikan kebenaran itu. Salah seorang warga saya langsung melapor, "Di ruang ini, orang Asia hanya tiga. Selain kami berdua, ada satu orang Jepang." Dia pun memotret suasana konferensi pers dan memastikan tidak ada wajah Indonesia selain keduanya. Besoknya, Jumat siang, masuk laporan kepada saya dari kawan wartawan di Jakarta bahwa pengurus yang mengaku Kamis sore duduk di depan Sepp Blatter itu sudah berada di sekitar Senayan. Itu jelas tidak masuk akal sebab pesawat yang terbang malam dari Zurich adalah Emirates dan tiba di Jakarta pukul enam sore. Bagaimana mungkin pengurus PSSI yang sering diwawancarai wartawan itu Jumat siang sudah ada di Jakarta? Apa dia punya ilmu ngrogoh sukma sehingga bisa berada di banyak tempat dalam waktu yang sama? Kebohongan itu makin lengkap ketika Minggu, saat ditelepon teman wartawan lain, dia mengaku sedang berada di Milan dan siap pergi ke Zurich lagi untuk mewakili PSSI. Saya tidak habis heran, bagaimana seorang pengurus teras organisasi olahraga besar bisa berbohong secara kontinu. Sayang, selama ini banyak di antara kita yang tidak sadar dengan kebohongannya. *) Djoko Susilo dubes indonesia untuk swis (diambil dari harian jawapos)

Comments